Semarang, 28 Agustus 2025 – KBK Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro (FISIP Undip) menggelar visiting lectures internasional dengan topik Collaborative Governance: Enhancing Public Policy Effectiveness through Inter-agency and Multi-Stakeholders Partnership pada tanggal 28 Agustus 2025.
Forum ini dibuka secara resmi oleh Dekan FISIP Undip Dr. Drs. Teguh Yuwono, M.Pol. Admin dan mempertemukan akademisi dari dua institusi yaitu FISIP Undip dan UITM Malaysia. Acara ini menghadirkan tiga narasumber utama yang menyoroti pentingnya collaborative governance dalam tiga bidang strategis: kebijakan publik inklusif, tata kelola lingkungan berkelanjutan, dan pengembangan pariwisata halal. Diskusi berlangsung dinamis dan menghadirkan benang merah bahwa di tengah kompleksitas tantangan masyarakat modern, kolaborasi lintas aktor—pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat sipil, hingga media—merupakan prasyarat mutlak untuk menciptakan kebijakan yang efektif, adil, dan berkelanjutan. Acara ini diselenggarakan secara daring dan diikuti oleh 140 peserta.

Kebijakan Publik Inklusif dan Feminist Policy-Making
Narasumber pertama, Wan Zumusni Wan Mustapha, Senior Lecturer dari Universiti Teknologi MARA (UiTM) Malaysia, memaparkan bagaimana collaborative governance dapat memperkuat efektivitas kebijakan publik, terutama dalam isu kesetaraan gender. Ia mencontohkan peran Sisters in Islam (SIS) sebagai mediator yang menjembatani masyarakat akar rumput, akademisi, dan pemerintah. Dengan mengacu pada kerangka Ansell & Gash, SIS berhasil membangun forum inklusif, transparansi, serta pengambilan keputusan berbasis kepercayaan bersama. “Kolaborasi semacam ini membuktikan bahwa kepercayaan, pemahaman bersama, dan pencapaian kecil (small wins) adalah modal sosial untuk menjaga momentum kerja sama jangka panjang,” jelas Zumusni.
Meski menghadapi tantangan berupa resistensi kelompok konservatif dan keterbatasan dana, ia menegaskan bahwa institusionalisasi kemitraan melalui MoU, hibah riset berkelanjutan, serta pembentukan platform co-creation di tingkat ASEAN sangat diperlukan untuk memperluas praktik tata kelola kolaboratif.

Menjawab Krisis Ekologi dengan Collaborative Environmental Governance
Pembicara kedua, Prof. Kismartini dari KBK Kebijakan Publik, FISIP Universitas Diponegoro, mengangkat isu lingkungan yang semakin mendesak di Indonesia: pencemaran udara, air, dan tanah; eksploitasi sumber daya alam; hingga kerusakan ekosistem akibat penangkapan ikan ilegal dan praktik tambang yang tidak ramah lingkungan. Menurutnya, regulasi yang ada sebenarnya cukup komprehensif, namun lemahnya penegakan hukum menjadikan kerusakan lingkungan terus berlanjut. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan baru berupa Collaborative Environmental Governance (CEG), yakni model tata kelola lingkungan yang mengedepankan kerja sama lintas sektor, dialog, dan pengambilan keputusan bersama. Ia mencontohkan keberhasilan program Mbah Dirjo di Bali yang mengintegrasikan pemerintah daerah, bank sampah, dan dunia usaha dalam pengelolaan sampah; serta kolaborasi restorasi mangrove di Pantai Sejarah yang melibatkan pemerintah, perusahaan, dan masyarakat. “Masalah lingkungan tidak bisa diselesaikan hanya oleh pemerintah atau masyarakat saja. Dibutuhkan sinergi yang memperkuat kapasitas kelembagaan sekaligus memastikan inklusi sosial agar solusi yang dihasilkan berkelanjutan,” tegas Prof. Kismartini.
Pentahelix Collaboration untuk Pariwisata Halal
Topik ketiga disampaikan oleh Tri Yuniningsih, juga dari Universitas Diponegoro, yang membahas pengembangan halal tourism di Bintan, Kepulauan Riau. Ia menjelaskan bahwa pariwisata halal merupakan fenomena global yang terus tumbuh seiring meningkatnya jumlah wisatawan Muslim. Dalam konteks ini, pentahelix collaboration model—yang melibatkan pemerintah, akademisi, dunia usaha, masyarakat, dan media—dianggap sebagai pendekatan paling relevan. Namun, menurut Tri, praktik kolaborasi di lapangan masih belum optimal. Banyak aktor masih bekerja secara parsial, regulasi khusus pariwisata halal belum tersedia, kualitas SDM pariwisata terbatas, dan pemanfaatan media sosial masih minim. Ia menekankan perlunya peraturan daerah khusus tentang pariwisata halal, promosi terpadu melalui media massa dan influencer, serta peningkatan kompetensi SDM lokal melalui pelatihan dan pemberdayaan komunitas Melayu. “Kolaborasi yang solid akan menjadikan pariwisata halal bukan hanya label, tetapi juga pengalaman nyata yang ramah dan berdaya saing global,” tandas Tri.
Menuju Tata Kelola Kolaboratif di Berbagai Bidang
Forum ini memperlihatkan bahwa meski konteks kebijakan publik yang dibahas berbeda—dari kebijakan pengarusutamaan gender, lingkungan, hingga pariwisata halal—semua narasumber sepakat bahwa tata kelola kolaboratif adalah kunci untuk menghadapi tantangan kompleks di era sekarang. Melalui dialog, kepercayaan, dan tanggung jawab bersama, kolaborasi lintas aktor mampu menghasilkan solusi yang lebih efektif, inklusif, dan berkelanjutan. Dengan semangat ini, FISIP Undip menegaskan komitmennya untuk terus menjadi ruang diskusi akademis yang melahirkan gagasan strategis bagi pembangunan Indonesia dan Asia Tenggara.
Relevansi dengan KBK Kebijakan Publik FISIP Undip
Acara ini memiliki makna strategis bagi pengembangan riset KBK Kebijakan Publik FISIP Undip. Tema collaborative governance yang diusung para pembicara selaras dengan tren penelitian Kebijakan publik yang semakin kompleks, bersifat lintas sektor antar pemangku kepentingan di tingkat lokal, nasional, maupun regional. Serta harus berbasis Ethical and civic values, yaitu komitmen terhadap keberlanjutan, inklusi sosial, dan demokrasi substantif. Dengan menghadirkan narasumber internasional dan nasional, kegiatan ini juga memperkuat link and match antara kurikulum dengan perkembangan global, sekaligus memberi pengalaman langsung kepada mahasiswa dalam mengkaji kebijakan publik berbasis praktik kolaboratif. (Penulis: KBK Kebijakan Publik).***





0 Komentar