Customize Consent Preferences

We use cookies to help you navigate efficiently and perform certain functions. You will find detailed information about all cookies under each consent category below.

The cookies that are categorized as "Necessary" are stored on your browser as they are essential for enabling the basic functionalities of the site. ... 

Always Active

Necessary cookies are required to enable the basic features of this site, such as providing secure log-in or adjusting your consent preferences. These cookies do not store any personally identifiable data.

No cookies to display.

Functional cookies help perform certain functionalities like sharing the content of the website on social media platforms, collecting feedback, and other third-party features.

No cookies to display.

Analytical cookies are used to understand how visitors interact with the website. These cookies help provide information on metrics such as the number of visitors, bounce rate, traffic source, etc.

No cookies to display.

Performance cookies are used to understand and analyze the key performance indexes of the website which helps in delivering a better user experience for the visitors.

No cookies to display.

Advertisement cookies are used to provide visitors with customized advertisements based on the pages you visited previously and to analyze the effectiveness of the ad campaigns.

No cookies to display.

Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D. (Dosen FISIP UNDIP): Oligarki, Ketimpangan Ekonomi dan Imajinasi Politik Kita

Posted by En_Admin

Januari 24, 2023

“Jika kita mencermati teori terbaru dalam Ilmu Politik untuk menggambarkan situasi Indonesia saat ini maka kita akan bertemu dengan istilah oligarki. Konsep ini menunjuk pada segelintir orang yang begitu berkuasa sehingga mereka bisa menentukan semua keputusan politik bagi ratusan juta orang lainnya. Secara ekonomi, oligarki merujuk pada keadaan di mana sejumlah kecil elit menguasai sebagian besar kekayaan bangsa” ungkap Wijayanto, S.IP., M.Si., Ph.D. Dosen Departemen Politik dan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Diponegoro, lulusan program doktor Leiden Institute for Area Studies, Leiden University.

Menurutnya oligarki melahirkan ketimpangan ekonomi dan kemiskinan. Ketimpangan ekonomi tinggi di masyarakat merupakan ancaman karena tidak hanya membahayakan kohesi sosial, tapi juga membahayakan stabilitas politik dan ekonomi. Dalam hal ini melihat bahwa ketimangan ekonomi terkait erat dengan korupsi.

“Ketimpangan ekonomi memberikan tempat berkembang biak yang subur untuk korupsi, yang pada gilirannya menyebabkan ketidaksetaraan lebih jauh. Tingkat korupsi yang makin tinggi melahirkan ketimpangan yang semakin membesar pula, yang membuat masyarakat terjebak dalam apa yang disebut dengan perangkap ketimpangan” terang Wijayanto.

Lebih lanjut ia menuturkan bahwa oligarki, ketimpangan ekonomi, korupsi dan klientelisme pada saat pemilu bukanlah masalah yang terpisah satu sama lain, namun sangat terkait satu dengan yang lain. Klientelisme adalah refleksi atas rendahnya kepercayaan masyarakat pada politik.

Menurutnya politik uang yang terjadi dalam pemilu adalah akar dari korupsi dan ketimpangan ekonomi. Elit politik melakukan korupsi untuk membiayai pemilu yang mahal sebagai akibat dari praktik membeli suara dalam pemilu. Sayangnya hari ini politik uang telah begitu marak terjadi bahkan dari pemilu ke pemilu praktik pembelian suara makin meningkat dan menghasilkan pemilu berbiaya mahal. Bahkan karena begitu maraknya politik uang, sampai-sampai dia menjadi sesuatu yang normal sehingga kita sulit membayangkan pemilu tanpa ada politik uang. Di sini, menurutnya, butuh keberanian, kreativitas dan imajinasi untuk menghentikan praktik politik uang, baik dari sisi elit, warga negara dan system hukum.

“Sebagaimana dituturkan oleh Ben Anderson, sebuah bangsa lahir karena ada sekelompok manusia yang meskipun tidak pernah bertemu satu sama lain, membayangkan diri mereka sebagai sama-sama bagian dari sebuah bangsa. Seratus, atau dua ratus tahun yang lalu ketika Nusantara masih berupa kerajaan yang terpisah, ide akan sebuah bangsa bernama Indonesia adalah imaji yang tampak seperti utopia. Namun, kini sebuah bangsa yang bernama Indonesia telah berusia hampir tiga perempat abad. Hari ini, imaji akan sebuah bangsa yang berkeadilan dan bebas dari oligarki, korupsi dan ketimpangan ekonomi itu mungkin tampak seperti utopia. Akan tetapi jika setiap warga negara telah memulai membayangkan hal itu secara bersama-sama hari ini, maka perwujudan akan imajinasi itu hanyalah masalah waktu. Semoga anak cucu kita kelak bisa menikmatinya” jelasnya.

Dalam presentasinya, Wijayanto juga menyampaikan tentang riset terbarunya mengenai pasukan siber dan manipulasi opini publik yang menjadi ancaman demokrasi di Asia Tenggara, hasil kerjasama dengan KITLV Leiden dan Universitas Amsterdam. Telah terjadi manipulasi opini publik dengan menggunakan propaganda di media sosial selama presiden 2019 serta pada serangkaian kebijakan bermasalah. Manipulasi ini dilakukan oleh tentara bayaran dunia maya atau yang biasa disebut sebagai buzzers. Dalam hal ini, dia menjelaskan bahaya manipulasi opini publik bagi demokrasi.

“ Informasi yang benar adalah laksana oksigen buat demokrasi. Hal ini karena dalam demokrasi kedaulatan ada di tangan setiap warga negara yang diandaikan rasional dalam mengambil keputusan politik, misalnya dalam memilih calon presien dalam pemilu, atau menolak atau mendukung kebijakan tertentu. Dasar dalam mengambil keputusan politik itu adalah informasi. Informasi yang benar akan menghasilkan keputusan politik yang benar. Informasi yang salah tentu akan menghasilkan keputusan politik yang juga salah. Maka ruang public yang penuh dengan informasi yang salah itu laksana gas beracun yang bisa membunuh demokrasi.” pungkasnya. (Lin-Humas)

 

Sumber: undip.ac.id

MORE FROM @FISIP UNDIP

0 Komentar