“Workshop “Pembentukan Kader Literasi Lingkungan Hidup Melalui Konten Visual Persuasif”

Posted by Admin

Mei 18, 2022

Sumber : Hikmatul Mufarichah

             Semarang – Workshop bertajuk pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Diponegoro telah terlaksana pada 14 Mei 2022 melalui media daring zoom. Workshop dibuka oleh Muhammad Bayu Widagdo, M.I.Kom selaku moderator dengan menyampaikan konsep workshop secara general. Secara khusus, program ini ditujukan secara berkelanjutan untuk pelestarian lingkungan hidup. Pembicara pertama yaitu Jamal Muhammad Amin, SS., selaku ketua Asosiasi Dokumenteris Nusantara (ADN), dan pembicara adalah kedua Ratmuri Mardika, selaku salah satu dosen akrab disapa dengan Mas Sonski. Webinar kali ini dihadiri oleh 100 peserta yang mayoritas berasal dari mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro dan beberapa komunitas dari PSDK Rembang.

“Sadar atau tidak sadar, efek perubahan iklim sedang kita alami. Saat ini yang seharusnya merupakan bulan musim kemarau, tapi masih seringkali hujan. Temperatur berubah drastis, seperti di Ciputat,” ujar Yanuar Luqman ketika membuka sambutan mewakili Departemen Ilmu Komunikasi. Yanuar juga menambahkan jika kehadiran workshop kali ini diinisiasi oleh keprihatinan yang dirasakan bersama kedua dosen Ilmu Komunikasi lainnya, yaitu Muhammad Bayu Widagdo dan Nurist Tsurayya Ulfa, terhadap kondisi lingkungan hidup dewasa ini. Sebagai “orang Komunikasi”, menghadirkan workshop seperti ini merupakan salah satu bentuk ikhtiar guna mengatasi masalah lingkungan dengan membangun awareness.

Di awal penyampaian materi, Jamal memberikan beberapa film dokumenter yang mengangkat tema tentang mengurangi kerusakan lingkungan hidup, salah satunya film yang berjudul “Energi dari Limbah Sapi”. Film ini menceritakan pengalaman kelompok peternak sapi yang memanfaatkan limbah kotoran ternak sapi untuk biogas di Klaten dan Boyolali. Film dokumenter dapat dibuat karena berangkat dari ide yang muncul baik dari diri sendiri maupun orang lain. Ide dapat terbentuk melalui keresahan dan rasa ingin tahu yang menggugah untuk menciptakan sesuatu. Pengemasan film dokumenter yang berawal dari ide serta didukung oleh data dan fakta harus tetap bisa memprioritaskan penyampaian inti dari permasalahan.

Data dan fakta yang diperoleh harus melalui riset dokumenter terlebih dahulu, yakni dengan mengumpulkan informasi sebanyak mungkin tentang topik permasalahan yang diangkat menggunakan metode observasi dan wawancara mendalam. Dalam melakukan riset, penting untuk memfokuskan pada data subjek (data fisik sosiologis dan psikologis), peristiwa penting yang dialami subjek, dan lokasi (data geografis). Tujuan riset sendiri ialah untuk mengumpulkan data, menemukan karakter subjek, menyusun kebutuhan anggaran, dan menyusun kebutuhan manajemen produksi. Tahapan riset sendiri terbagi menjadi 3 bagian, yakni riset pustaka (menggali informasi melalui buku dan penelitian), riset lokasi (mengumpulkan data dengan datang langsung ke lokasi), dan riset partisipatif (pendekatan kepada narasumber).

Tak hanya itu, wawancara dokumenter memiliki peran penting karena merupakan inti atau ruh dari film dokumenter itu sendiri. Dengan membangun kedekatan bersama narasumber, diharapkan mereka dapat bercerita secara menyeluruh sehingga kita dapat mengetahui sudut pandang dan sikap mereka mengenai topik permasalahan yang diangkat. Dalam hal ini, kita harus jujur menjelaskan maksud dan tujuan kepada narasumber, memastikan bahwa tidak ada paksaan agar merasa mengalir ketika wawancara berlangsung.

Lebih lanjut, terdapat persiapan produksi film dokumenter yang harus diperhatikan. Beberapa hal tersebut antara lain adalah mempersiapkan peralatan dan berkas administrasi (meminta perizinan kepada pihak kepala desa, dusun, RT, RW), mempersiapkan shooting script dan jadwal wawancara, serta membuat estimasi biaya. Perizinan sangat dibutuhkan karena menyangkut persetujuan pihak terkait (narasumber dan masyarakat sekitar) karena film dokumenter akan dipublikasikan ke khalayak umum. Shooting script berguna bagi juru kamera ketika pengambilan gambar agar lebih tertata dan apik, sedangkan jadwal wawancara berguna untuk bisa mengatur waktu menyesuaikan narasumber. Estimasi biaya dibuat karena agar tidak terjadi over budget, terutama yang berkaitan dengan akomodasi dan transportasi.

Dalam pemaparan materi sesi selanjutnya, Mas Sonski memberikan gambaran bagaimana agar kita bisa menentukan perspektif terhadap lingkungan. Ia mengungkapkan bahwa membulatkan perspektif lingkungan penting adanya. Karena perspektif tersebut berkaitan dengan sudut pandang yang mana tidak boleh melihat dari satu sudut saja. Perspektif penting untuk dibicarakan dan telah menjadi konsen, yang mana Mas Sonski sendiri sudah memilih projek yang dinilai sesuai dengan prioritas dan konsennya.

Berbekal dengan konsen yang telah dipilih, Mas Sonski tertarik untuk mengkaji lebih dalam mengenai problematika lingkungan hidup. Menurutnya, lingkungan hidup adalah hidup kita. Jika lingkungan rusak, maka hidup kita juga akan rusak. Kita merupakan bagian dari lingkungan, oleh karena itu sudah seharusnya tidak merusak lingkungan. Problem lingkungan harus diselesaikan secara komunal atau komunitas. Medium film dinilai efektif untuk membangun wacana edukatif dalam mengajak dan mempersuasif khalayak agar ikut serta melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

“Perubahan memang harus di mulai dari diri sendiri, petani dengan sawahnya, filmmaker dengan kameranya, dan mahasiswa dengan ilmunya. Ini hanya perihal untuk memulai, kemudian eksekusinya harus secara kolektif komunal. Perspektif lingkungan yang diangkat menjadi film dokumenter adalah untuk mempolitisasi perubahan,” ungkap Mas Sonski.

Sementara itu, film memiliki daya untuk mempengaruhi publik secara dramatis. Hal itu disebabkan karena film merupakan entitas dari audio, visual, dan story (dramaturg). Dengan adanya entitas ini, akan menjadi lebih mudah untuk mempersuasi atau memprovokasi khalayak dibandingkan buku ataupun koran.

Awalnya, audiens film hanya terdiri dari masyarakat kelas khusus (priyayi). Namun, seiring berkembangnya zaman, film sudah hampir egaliter atau menyasar segala kalangan, baik kalangan penyebab maupun kalangan terdampak (dalam hal pelestarian lingkungan). Semakin banyak masyarakat yang menonton film, maka semakin banyak bula perspektif peduli akan lingkungan yang terbentuk dan tertanamkan.

Selanjutnya, Mas Sonski juga memberikan tips untuk membuat film dokumenter yang meliputi tiga bagian, yaitu pra-produksi, produksi, dan distribusi. Tahap pra-produksi menjadikan wewebang filmmaker lebih terjamin, karena mereka diberikan keluasan penuh untuk mengembangkan ide miliknya. Pada tahap produksi, kekuatan film dokumenter harus disampaikan sesuai kenyataan untuk menjamin kepercayaan penonton. Tak hanya itu, segi estetika film juga tetap harus diperhatikan, namun juga masih bisa dinegosiasikan (tidak berlebihan). Film yang sudah selesai diproduksi kemudian didistribusikan melalui jalur festival film, komunitas film, festival hijau atau lingkungan, pemutaran film dan diskusi, serta dapat memanfaatkan akses untuk membicarakan masalah lingkungan.

“Membuat film itu mudah, tetapi merawat umurnya sangatlah susah. Jangan sampai setelah film sudah jadi, ia hanya dibiarkan berdebu di dalam hardisk,” pesan Mas Sonski di akhir kata.

Penulis: Risa Nurhaliza

Reporter: Hikmatul Mufarichah

Edotir: Langgeng Irma Salugiasih

Sumber : komunikasi.fisip.undip.ac.id

MORE FROM @FISIP UNDIP

0 Komentar