Mahasiswa Ilmu Komunikasi Raih Prestasi dalam Pelatihan Jurnalisme Inklusif UGM x UNESCO Office Jakarta

Posted by Admin

Desember 14, 2021

Unggahan selebrasi kemenangan Raihan Atha (Gambar: Screenshot Instagram LPM OPINI)

Semarang—Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada bekerja sama dengan UNESCO Office Jakarta dalam menyelenggarakan pelatihan jurnalistik secara daring dengan tajuk Jurnalisme Inklusif: Liputan tentang Perempuan, Anak, dan Difabel selama Pandemi.

Jurnalisme inklusif merupakan jurnalisme yang lebih menekankan pada mereka yang jarang didengar suaranya seperti perempuan, anak, dan penyandang disabilitas. Acara ini hadir untuk memberikan pelatihan kepada orang-orang, terutama mereka yang menekuni bidang jurnalisme, untuk tahu bagaimana cara meliput perempuan, anak, dan penyandang disabilitas, dengan cara yang baik.

Berlangsung selama bulan Oktober hingga November, UGM turut mengundang empat mahasiswa Ilmu Komunikasi dari 15 universitas berbeda di Indonesia. Dalam kesempatan kali ini, empat mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro berkesempatan menjadi delegasi Undip untuk mengikuti pelatihan jurnalisme inklusif tersebut.

Pelatihan ini membagi kelima belas universitas yang diundang ke dalam tiga kelas yang berbeda, yakni kelas A, B, dan C dengan jumlah peserta sebanyak 20 mahasiswa per kelas. Dalam kurun waktu satu bulan, peserta diberikan waktu selama dua minggu untuk melakukan liputan, di mana nantinya akan dipilih dua liputan terbaik per kelas.

Satu dari empat mahasiswa yang menjadi delegasi Universitas Diponegoro, Raihan Atha, mahasiswa Ilmu Komunikasi 2019, berhasil memenangi Liputan Jurnalisme Inklusif Tentang Perempuan, Anak, dan Difabel Terbaik Kelas B.

Liputannya yang berjudul “Pandemi Membuat Anak Mengalami Sindrom Stress” ini dilatarbelakangi oleh adiknya yang stres dalam menghadapi tugas sekolah.

“Tugas-tugas yang diberikan membuatnya agak stres.  Karena itulah aku mau ngangkat anak-anak yang mengalami stres ketika belajar secara daring ini. Jadi kita juga tahu kalau yang bisa stres pas pandemi gini bukan hanya orang dewasa saja, pelajar pun juga bisa stres,” ungkap Atha.

Kesibukannya sebagai mahasiswa yang mengikuti berbagai kegiatan lainnya cukup menghambat Atha dalam pengerjaan liputannya, terutama ketika melakukan wawancara dengan narasumber.

“Soalnya waktu pelatihan ini aku juga lagi KKN Tematik yang mana tugasnya juga banyak. Jadi agak kesusahan dalam nyempetin waktu untuk wawancara beberapa narasumber. Tapi alhamdulillah, semua narasumber mau bekerja sama dengan baik, jadinya liputan ini bisa berjalan dengan lancar,” lanjutnya.

Melalui pelatihan jurnalisme inklusif ini, Atha mendapatkan banyak ilmu baru dalam melakukan liputan, khususnya ketika seorang jurnalis menempatkan seseorang sebagai subjek, bukan sekadar objek berita semata.

“Kalau ilmu yang kudapat mungkin aku bisa lebih paham gimana sih menempatkan sosok seseorang dalam liputan kita menjadi subjek, bukan sekadar objek. Karena banyak berita, bahkan berita yang terlihat bagus, tetapi menempatkan mereka sebagai objek,” jelasnya.

Atha menilai pengetahuan liputan jurnalisme inklusif ini sangat penting untuk dimiliki oleh mahasiswa yang menekuni bidang jurnalisme sehingga ia berharap jurnalisme inklusif dapat dibagikan dalam perkuliahan biasa.

“Karena saya rasa pengetahuan yang saya dapatkan ini sangat penting, terutama untuk teman-teman yang mau menekuni bidang jurnalisme. Untuk itu, akan lebih baik jika ilmu ini bisa tersebar seluas-luasnya, sehingga tidak ada lagi liputan yang menjadikan seseorang sebagai objek, bukan subjek liputan,” pungkasnya.

Penulis: Salsabila Febryanti

Reporter: Dinda Khansa Berlian

Editor: Annisa Qonita Andini

MORE FROM @FISIP UNDIP

0 Komentar