Poster Digital Webinar Internasional: Woman and The Media pada Senin, 20 September 2021.
Semarang—Departemen Ilmu Komunikasi menyelenggarakan webinar internasional pada Senin (20/9) pukul 13.30 WIB melalui platform Zoom Meeting yang dihadiri oleh 184 partisipan.
Webinar kali ini mengangkat topik Woman and The Media yang dibawakan oleh dua pembicara berlatar belakang akademisi: Dr. Sunarto, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro (Undip) dan Prof. Lynn Rose, dosen Humaniora American University of Iraq Sulaymani (AUIS). Webinar ini dipandu oleh salah seorang Dosen Ilmu Komunikasi Undip yakni Amida Yusriana, M.I.Kom sebagai moderator.
Perempuan Difabel dalam Media
Prof. Lynn mengawali webinar ini dengan subtopik “Disabled Women in the Media”. Kutipan Jess Zimmerman dalam bukunya yang berjudul “Women and Other Monsters” menjadi pembuka pada pembahasan ini. Pada kutipan tersebut dikatakan bahwa perempuan dengan bentuk tubuh berbeda menjadi tanda bahaya bagi laki-laki dan peringatan bagi perempuan. Menurutnya, sampai kini pun hal tersebut masih berlaku.
“Sepanjang sejarah manusia, perempuan harus berfungsi dalam rentang estetika dan perilaku yang sangat terbatas,” ujar Lynn.
Lynn juga membahas bagaimana perempuan difabel digambarkan dalam sinema dari waktu ke waktu. Pada abad 20, perempuan difabel digambarkan sebagai tokoh yang menyedihkan tapi berani; menyedihkan dan mengerikan; atau hanya mengerikan. Misalnya dalam film Wait Until Dark (1967), meskipun tokoh utama yang tunanetra ditampilkan sebagai simpatik, tetap saja film ini menggambarkan betapa seramnya menjadi penyandang disabilitas.
Untungnya, sejak tahun 1980 sampai 2000-an, berbagai film mengenai disabilitas mulai memperkenalkan masyarakat pada ide-ide baru dan memberikan setidaknya beberapa representasi yang sangat dibutuhkan untuk difabel. Pada era ini, karakter disabilitas yang memiliki kecerdasan lebih dari orang lain dan semangat untuk berjuang, mulai digambarkan secara positif oleh sinema.
Berlanjut hingga abad 21, terlihat kemajuan dalam penggambaran perempuan penyandang disabilitas di media. Tidak banyak stereotip negatif secara terang-terangan. Penggambaran penyandang disabilitas semakin baik. Kendati sudah tidak digambarkan menyedihkan dan mengerikan, kini publik disuguhkan banyak perempuan difabel yang cantik, glamor, dan seksi di media.
“Ini membuatku khawatir. Apakah perempuan penyandang disabilitas harus terlihat sangat cantik? Bukankah ini masih tatapan laki-laki dan tatapan mampu menentukan apa yang dapat diterima dan menyenangkan? Itu sama saja menganggap perempuan sebagai objek seksual yang hanya dipandang dari kecantikan fisik,” tambah Lynn.
Kepemimpinan Jurnalis Perempuan di Media Konvensional
Subtopik kedua yaitu “Women Journalists Leadership in Conventional Media” dipaparkan oleh Dr. Sunarto sebagai pembicara kedua. Sunarto melontarkan pernyataan bahwa ketika seorang jurnalis perempuan menjadi pemimpin, akan banyak pihak yang meragukan kompetensi mereka. Pernyataan ini didukung dengan hasil riset pada tahun 2018 yang menunjukkan bahwa gap gender di Asia terbilang cukup tinggi.
“Di Indonesia sendiri, jurnalis perempuan yang bekerja di media konvensional, baik pemimpin maupun staf biasa memiliki gap yang lebih rendah dalam rentang yang cukup besar dengan jurnalis laki-laki,” ujar Sunarto.
Sunarto menggunakan beberapa perspektif untuk menganalisis fenomena ini. Pertama, dilihat dari perspektif komunikasi massa, yang menurut pemaparannya berfokus pada bagaimana pesan digunakan di dalam organisasi tersebut. Kedua, dilihat dari perspektif komunikasi gender, yaitu media sebagai sender pesan untuk publik.
“Media didominasi oleh kapitalisme dan pria sehingga seringkali pesan bersifat sangat patriarki,” imbuhnya.
Perspektif yang terakhir, melihat berdasarkan Standpoint Theory yang menguraikan bahwa situasi sosial di beberapa lokasi turut menunjukkan adanya hierarki dalam organisasi.
Penulis: Dinda Khansa
Reporter: Salsabila Febryanti
Editor: Annisa Qonita Andini
0 Komentar