Teatrikal Makroekonomisme Globalisasi

Posted by FISIP

Juli 17, 2016

  Oleh: Fendy E. Wahyudi

 

Abstract

 

Globalization has been seen as the main power of development. it becomes the buzzword of economic advancement. The success story of several countries including China, India, and also Indonesia being noted as the good side of Globalization. The main theme of my paper is on globalization and equality. Further, question for consiedaration in this paper I discussed wether globalization enhance economic inequality. By reviewing several indicators that used to be seen as the indicator of globalization of economic, hence put more emphasis on more micro-economics indicators I argue that globalization actually endager economic equality. the “fairy tale” of globalization economic prosperity arise due to the using of “theatrical macro economics” Indicators. In a nutshell this macro-economics indicator conceals the real face of globalization’s economic consequences.

 

Key Words: Globalization, inequality, macro economy

 

Pendahuluan

Globalisasi sebagai sebuah fenomena diyakini oleh sebagaian publik dunia sebagai sebuah kondisi yang menjanjikan perubahan ke arah yang lebih baik. Mengutip apa yang ditulis oleh Thomas L. Friedman (2007:345) dalam bukunya yang berjudul The World is Flat, Globalisasi dianggap merujuk pada fenomena farther, faster, wider, dan deeper, bahkan cheaper sehingga globalisasi diasumsikan dapat menjadi batu loncatan bagi terciptanya tata dunia yang lebih sejahtera, termasuk dalam hal peningkatan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan juga pengentasan kemiskinan.

Argumen-argumen optimistik terhadap Globalisasi direpresentasikan sebagian besar oleh kalangan globalis. Salah satu pendapat menarik tentang janji pertumbuhan dan  kesejahteraan ekonomi sangat tepat dipaparkan oleh Fareed Zakaria. Dalam The Post-American World, Zakaria (2008:2) menjelaskan bahwa kini kita tengah menghadapi fenomena The Rise of the Rest, selama beberapa dekade akhir abad ke-20 hingga dekade awal abad ke-21, negara-negara di dunia mengalami tingkat pertumbuhan ekonomi yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Pada tahun 2006 hingga 2007  misalnya 124 negara mengalami pertumbuhan ekonomi di tingkat rata-rata 4% atau lebih.

Kini dapat dilihat simbol-simbol kedigdayaan ekonomi berupa bangunan-bangunan tertinggi di dunia yang ternyata justru tidak lagi berada di negara-negara core. Gedung-gedung pencakar langit justru kini bermunculan di Malaysia, Taipei dan Dubai. Bahkan orang terkaya di dunia pun kini berasal dari Mexico. Pabrik perfileman terbesar di dunia, dalam arti jumlah film yang diproduksi maupun jumlah tiket yang terjual ada di Bollywood, bukan di Hollywood. Dari daftar 10 Mall terbesar di dunia bahkan hanya satu yang berada di AS. Kasino terbesar di dunia justru ada di Macao bukan di Las Vegas (Zakaria 2008:2).

Sejumlah kondisi di atas sekilas memang mencerminkan bahwa dunia tengah mengalami perubahan  besar yakni munculnya negara-negara lain atau the rest (selain negara maju kontemporer) sebagai aktor dominan, atau dengan kata lain akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 yang sering dirujukkan sebagai era globalisasi telah memberikan efek positif bagi kesejahteraan global. Namun pertanyaannya benarkah globalisasi tengah memberikan efek positif bagi kesejahteraan dunia?

Indikator Makroekonomisme

Untuk menjawab pertanyaan tersebut sejumlah perdebatan yang ada banyak didasarkan pada asumsi-asumsi ekonomi makro, artinya kesuksesan praktek ekonomi banyak didasarkan pada indikator makro seperti pertumbuhan ekonomi serta stabilitas ekonomi dalam tataran internasional dan negara (Krugman 2008:31). Dengan kata lain efek globalisasi terhadap ekonomi hanya diukur dari indikator makro ekonomi.

Di sisi lain, pertumbuhan yang pesat belum tentu menjamin terbaginya secara tepat hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut, baik secara internasional antar negara, maupun dalam negara itu sendiri. Sebagai contoh pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris ternyata juga diikuti dengan meningkatnya kesenjangan dalam negara tersebut. Berdasarkan data yang dirilis oleh Congressional Budget Office, sejak tahun 1979 hingga 2001 warga AS berpendapatan paling tinggi mengalami pertumbuhan pendapatan hingga 120% sedangkan warga AS yang berpendapatan pada kisaran paling rendah hanya tumbuh 5% (Krugman 2008:33).

Grafik 1 Perbandingan pertumbuhan pendapatan di AS, tahun 1967-1979 dan 1979-2003.

     Pertumbuhan pendapatan warga AS tahun 1969-1979

     Pertumbuhan pendapatan warga AS tahun 1979-2003

Sumber: Krugman, Paul. 2008.

Berdasarkan grafik 1 diatas dapat dilihat pembagian perbandingan pertumbuhan pendapatan di Amerika Serikat. Melalui grafik tersebut Krugman (2008) membagi perbandingan pertumbuhan pendapatan warga AS antara tahun 1967-1979 dan tahun 1979-2003.  Berdasarakan data yang diperpoleh Krugman (2008) tampak bahwa pertumbuhan pendapatan warga AS secara rata-rata memang tidak didapati kondis yang kontras antara tahun 1969-1979 dengan tahun 1979-2003. Namun jika diamati perbandingan kontras justru terjadi di tataran kuantil menengah, pertama dan penduduk berpendapatan5% teratas di AS. Artinya kesenjangan pertumbuhan pendapatan di AS justru meningkat  sejak 1979-2003.

Namun selama ini indikator-indikator makroekonomi masih sering digunakan sebagai cara untuk mengetahui dampak globalisasi terhadap ekonomi. Sejumlah data yang digunakan tersebut acap kali menunjukkan hasil positif globalisasi terhadap ekonomi global. Sebagai contoh, pada tahun 1981 World Bank merilis data bahwa terdapat 40% dari total penduduk dunia yang hidup di bawah 1 dollar, data Bank Dunia pada tahun 2004 hanya 18% penduduk dunia yang hidup di bawah 1 dollar per hari. Dengan kata lain, selama 20 tahun terakhir terjadi penurunan luar biasa sebesar 200 juta jiwa yang hidup dibawah 1 dollar per hari (World Bank Report 2004).  Penggunaan data ini untuk dijadikan pijakan kesimpulan bahwa globalisasi memberikan efek positif bagi perekeonomian global dapat dikatakan terlalu gegabah. Data-data makro tersebut tidak lain merupakan bentuk indikator makroekonomisme. Artinya belum tentu data-data makroekonomisme tersebut menunjukkan kondisi riil dampak globalisasi terhadap ekonomi.

Oleh karena itu pembahasan terkait globalisasi dan ekonomi perlu diarahakan pada pemahasan yang lebih menukik yang tidak terjebak pada kondisi makroekonomi semata. Pembahasan globalisasi dan ekonomi kemudian dapat diturunkan kedalam pembahasan globalisasi dan inekualitas atau tingkat kesenjangan pendapatan. Berdasarkan pendekatan tersebut maka dalam tulisan ini, penulis berargumen bahwa globalisasi justru memberikan dampak buruk bagi kondisi perekonomian global.  Hal ini dapat dijumpai dari pengukuran tingkat inekualitas global yang justru menunjukkan terjadinya peningkatan inekualitas pada era globalisasi yang terus meningkat.

Untuk membahas kaitan yang tepat antara globalisasi dan inekualitas maka perlu didefiniskan terlebih dahulu makna globalisasi yang dimaksud dalam tulisan ini serta pengukuran inekualitas yang mungkin dilakukan.

Globalisasi sebagai Peningkatan Kapitalisme Global

Berbicara terkait globalisasi sebenarnya akan banyak dijumpai definisi terkait globalisasi. Sejumlah kalangan mulai dari yang skeptis hingga optimis terhadap globalisasi memiliki definisi yang beragam. Hilbourne A. Watson (2002)  menyatakan bahwa globalisasi tak lain adalah kapitalisme dalam era kemajuan teknologi.  Dengan kata lain maka watson termasuk akademisi yang percaya bahwa gobalisasi sendiri bukanlah hal yang baru. Dalam tulisannya yang berjudul Globalization as Capitalism in the Age of Electronics (Watson 2002) Watson mengasumsikan bahwa Globalisasi adalah bentuk dari kapitalisme yang muncul di era kemajuan teknologi, yang disebut oleh watson dengan istilah “The Electronic Age”.

Di sisi lain Immanuel Wallerstein (2000) yang menyatakan bahwa globalisasi adalah suatu bentuk transisi dari apa yang terjadi di masa lalu. Wallerstein yang merupakan seorang sejarawan, sangatlah beralasan ketika mengasumsikan bahwa globalisasi tidak lain merupakan suatu bentuk transisi semata. Menurut Wallerstein globalisasi tidaklah membawa konten yang secara substansial benar-benar baru, namun hanya membawa transisi dari yang telah terjadi masa lalu. Era globalisasi dengan kemajuan teknologinya, hanya membuat globalisasi menjadi lebih massif. Dahulu orang ketika berdagang melalui jalur sutera dan membutuhkan waktu sangat lama, kini perdaganan lintas benua dapat dilakukan lebih cepat karena kemajuan teknologi.

Pandangan yang menyatakan bahwa globalisasi adalah bentuk transisi semata juga diungkapkan oleh Robert O. Keohane & Joseph S. Nye Jr (2000).  Dalam artikelnya yang berjudul Globalization : What’s New? Whats’s Not? (And So What?), Keohane dan Joseph S. Nye Jr. (2000) menyatakan bahwa istilah globalisasi yang ada saat ini terutama yang muncul  pada dekade 1990-an merupakan isitilah yang merujuk pada peningkatakan dari globalisme.  Koehane dan Nye (2000) berargumen bahwa globalisasi telah berlangsung cukup lama, dan menurut mereka isu yang perlu diangkat bukan lagi seberapa lama globalisasi ini telah berlangsung namun lebih kepada seberapa tebal dan tipisnya globalisme di era globalisasi saat ini.

Dari penjelasan beberapa akademisi diatas maka dapat dikatakan bahwa globalisasi adalah suatu era transisi dimana fenomena serupa telah terjadi beberapa abad silam. Jika dalam beberpa tulisan diatas dimuat fenomena perpindahan barang antar benua, beberapa bentuk transisi juga terjadi dalam meknisme ekonomi internasional. Jika pada abad ke-18 dunia mulai populer dengan istilah pasar bebeas dengan gagasan Leissez Faire Adam Smith dalam  The wealth of Nations nya  (1776) hingga kini pun asumsi-asusmsi pasar bebas juga masih terjadi (Skousen, 2001). Bahkan kini dapat berlangsung lebih  (menggunakanistilah Koehane dan Nye) tebal lagi. Kemjuan teknologi informasi memungkinkan perdagangan bebas tersebut berlangsung antar benua. Bedanya adalah kini kemajuan teknologi memungkinakn transaksi non-riil berlangsung lebih besar dan cepat. Oleh karenanya sangat tepat jika  Wallerstein (2000) menyebut globalisasi sebagai age of transition.

Lebih lanjut, Wallerstein (2000) menyebut bahwa kapitlasime adalah awal dari globalisasi. Asumsinya kapitalisme memungkinkan globalisasi itu sendiri terjadi. Tanpa kapitalisme globalisasi tidak akan tercipta. Hanya kapitlasime yang memungkinakan  terbukanya transaksi pasar global sebgai salah satu bentuk globalisasi. Sejumlah penjelasan tekait globalisasi diatas, menggambarkan bahwa globalisasi identik dengan kapitalisme.  Oleh karena itu, dalam tulisan ini globalisasi difahami sebagai mengglobalnya kapitalisme. Sehingga diskusi berikutnya dapat lebih difokuskan pada dampak globalisasi terhadap distribusi pendapatan. Atau dengan kata lain pertanyaannya adalah apakah dampak globalisasi yang merupakan peningkatan kapitalisme global terhadap inekualitas global?

Pengukuran Inekualitas

Salah satu upaya pengukuran indeks inekualitas yang paling umum digunakan adalah Gini index (Income distribution index). Gini sendiri merupakan suatu koefisien  yang mengukur darajat inekualitas (ketidaksetaraan) distribusi pendapatan keluarga dalam suatu negara.  Gini index berskalakan antara 0 sampai dengan 100. Semakin tinggi skor skala yang diperoleh suatu negara, berarti semakin tinggi inekualitas, atau ketidak setaraan distribusi pendapatan di negara tersebut. Sebaliknya, semakin kecil skor yang diperoleh maka semakin pendapatan dalam negeri tersebut terdistribusikan dengan baik. Sebagai contoh, Negara-negara miskin di Afrika seperti Lesotho memiliki skor Gini yang sangat tinggi (63.2); Haiti memiliki indeks Gini sebesar59.3. Sedangkan negara-negara skandinavia  memiliki skor Gini yang sangat rendah, atau menunjukkan distribusi pendapatan cukup merata di dalam negeri. Berdasarkan data Gini Index, Finlandia memiliki skor Gini sebesar  29.5, Swedia 23 (CIA The World Factbook 2010). Skor ini tentu sangat kecil dibandingkan contoh skor yang dimiliki Negara-negara Afrika.

Berdasarkan Gini Index di atas, maka diskusi seputar globalisasi dan kesejahteraan ekonomi dapat dilakukan. Sejauh ini, sejumlah penstudi Globalisasi banyak berbicara terkait debat seputar globalisasi dan inekualitas dengan menggunakan pendekatan berbagai macam indikator, termasuk indicator inekualitas berupa Gini Index. (Milanovic 2007, Bhagwati 2004, Wolf 2005, LeGrain 2003, Dollar 2007, Singh 2005, Harvey 2007)

Dari sejumlah kalangan penstudi globalisasi, pandangan mereka terhadap isu seputar globalisasi dan inekualitas, dapat digolongkan kedalam dua kelompok besar. Pertama, adalah kelompok yang menganggap bahwa globalisasi memberikan dampak baik bagi penguarangan inekualitas. Kelompok ini direpresentasikan oleh David Dollar. Dollar (2007:84) menjelaskan bahwa  melalui pengukuran Gini didapati bahwa terjadi penurunan indeks Gini secara global pasca 1980. Artinya, periode meningkatnya globalisasi (tahun 1980-an) merupakan periode ketika terjadi penurunan inekulitas global. Dengan kata lain, globalisasi memberi efek positif terhadap distribusi kekayaan global.

Pendapat David Dollar diatas, kemudian dibantah oleh para penstudi globalisasi yang skeptik terhadap dampak globalisasi terhadap pengurangan inekualitas global. Branko Milanovic (2007:26) misalnya mengasumsikan, bahwa memberikan data global, tanpa memilah data tersebut, lantas menyimpulkan bahwa globalisai berdampak positif terhadap penurunan inekulitas global adalah berlebihan.  Milanovic, berusaha memberikan konsep lain untuk membedah tingkat inekulitas global. Milanovic membagi konsep inekualitas kedalam tiga konsep. Pertama, Unweighted international inequality. Konsep pertama ini berarti tingkat inekulitas diukur berdasarkan perbandingan tingkat pendapatan rata-rata suatu negara dibanding negara lain. Data untuk konsep inekualitas yang pertama ini diambil dari data GDI nasional suatu negara. Dalam konsep pertama ini konsekuensinya tidak memandang populasi suatu Negara. Artinya tingkat rata-rata pendapatan nasional negara dengan jumalah penduduk besar diberei bobot yang sama dengan tingkat pendapatan negara berpenduduk kecil. Suara China dengan Timor Leste dalam hal ini memiliki bobot yang sama (Milanovic 2007:27).

Kedua, weighted international inequality.Berbeda dengan konsep pertama Milanovic (2007:27) menjelaskan bahwa konsep kedua ini walaupun sama-sama menggunakan indikator ienekualitas berupa GDI namun dalam konsep kedua ini sudah menambahkan hitungan GDI per capita dan juga memberikan bobot terhadap populasi suatu negara. Namun konsep kedua ini juga tidak mampu menghitung tingkat inekualitas dalam Negara itu sendiri. Artinya koefisien nasional belum tentu menjamin ekualitas pendapatan dalam satu negara. Artinya konsep yang kedua in pun sebenarnya juga tidak dapat lepas dari jebakan teatrikal makroekonomisme.

Ketiga, Milanovic (2007:27) mengusulkan konsep yang ke-3 yakni world inequality  atau global inequality. Pengukuran inekualitas dengan menggunakan konsep yang ketiga ini berbeda dengan dua konsep sebelumnya. Dalam konsep yang ketiga ini unit observasinya adalah individual. Setiap individu dalam suatu negara diukur tingkat pendaptannya atau tingkat pengeluarannya. Oleh karena itu Milanovic mengusulkan pemerolehan data ini dengan menggunakan metode survey rumah tangga.

Penggunaan masing-masing konsep inequality tersebut diatas memiliki konsekuensi berbeda. Pada konsep pertama atau unweignted international equality, maka data global Gini Index menunjukkan bahwa memang tetap terdapat peningkatan pendapatan rata-rata dalam suatu negara dibanding 200 tahun yang lalu. Namun, berdasrakan data yang diperoleh oleh Angus Madison (2004) dteimukan bahwa pasca meingkatknya globalisasi yang ditandainya bermunculannya rezim neoliberal (tahun 1980) maka sebenarnya tetap terjadi peningkatan inekualitas secara internasional, walau memang tidak terlalu siginifikan. Jika hanya menggunakan pendekatan konsep inekualitas yang pertama atau unweignted international equality maka memang harus diakui data menunjukkan globalisasi tidaklah terlalu berefek negatif terhadap penurunan inekualitas.

Sedangkan ketika digunakan pengukuran inekualitas menggunakan konsep inekualitas yang kedua, atau weighted international inequality memang terjadi kondisi yang stabil tingkat inekualitas internasional. Dari grafik 2 di bawah, dapat diamati penggunaan konsep inekualitas yang ke-2. Grafik tersebut diambil dari data pendapatan domestic perkapita yang dibuat oleh Madison (2004). Berdasar data statistic tersebut, didapatkan grafik gini index yang mengalami peningkatan cukup signifikan dari tahun 1850 hingga tahun 1960-an. Namun mulai mengalami kondisi yang stabil bahkan mengalami sedikit penurunan di di periode tahun 1980-2000.

Grafik 2 Konsep Inekualitas weighted international inequality (Gini Index), 1820-2000

Sumber: dikalkulasikan dari Maddison (2004) dalam Milanovic (2007)

Berikutnya ketika digunakan data konsep inekualitas yang ketiga, didapatkan data yang lebih detail. Artinya, unit analisis dalam konsep inekualitas yang ketiga adalah pendapatan per rumah tangga secara global. Namun problemnya adalah kesulitan untuk memperoleh data, karena tidak tersedia data global survey rumah tangga. Namun bukan berarti pendekatan konsep inekualitas yang ketiga ini tidak dapat dilakukan. Milanovic (2007) juga melakukan survey di sejumlah negara untuk mendapatkan data sampel konsep inekualitas yang ketiga ini.

Berdasarkan data survey yang diperoleh pada tahun 1988, 1993, dan 1998 menunjukkan bahwa tingkat inekualitas masyarakat dunia saat ini sangatlah tinggi, tercermin dalam tingkat koefisien Gini global yang mencapai kisaran diatas 60. Sebagai contoh koefisien korelasi diatas  60 sangatlah tinggi, kasus Brazil dan Afrika Selatan misalnya sebagai Negara dengan tingkat inekualitas tertinggi berada pada kisaran 50 hingga 6o-an (Milanovic 2007:32). Memang berdasarkan data yang hanya bersumber dari 3 tahun tersebut masih sangat sulit untuk memprediksi trend atau meregresikan data global inekualitas. Namun data tingkat inekualitas sejak tahun 1988 hingga 1998 yang berkisar diatas 60 merupakan gambaran bahwa memang dunia tengah menghadapi problem tingkat inekualitas yang tinggi.

Di sisi lain, ketika pengukuran Gini Index dilakukan dengan menggunakan pendekatan pengukuran gini index per regional maka data yang diperoleh menunjukkan bahwa antara tahun 1988 hingga 1993, inekualitas justru meningkat di tiga region, namun sedikit menurun pada Negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara. Bahkan kawasan Asia dan Afrika mengalami penginkatan koefisien Gini sebesar 6 poin.

Tabel 1 Koefisien Gini Regional 1988-1993

Sumber: (Milanovic 2002)

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas, maka dampak globalisasi terhadap ekonomi global semestinya lebih ditekankan pada diskusi seputar dampak globalisasi terhadap inekualitas. Dengan demikian, dapat diamati bagaimana dampak globalisasi terhadap distribusi pendapatan. Karena, apa artinya pertumbuhan ekonomi global, tanapa diimbangi dengan pemerataan atau distribusi pendapatan secara global pula.

Sejumlah penstudi globalisasi, sebenarnya telah banyak berbicara terkait diskusi seputar globalisasi dan inekualitas. Namun, banyak diantara penstudi globalisasi (Dollar 2007, Bhagwati 2004) terkesan overoptimistic terhadap damapak positif globalisasi terhadap kesejahteraan. Pandangan overoptimistic tersebut, muncul dikarenakan pandangan pendekatan indicator-indikator makro yang digunakan sebagai induksi dampak globalisasi terhadap kesejahteraan. Kondisi ini tidak lain merupakan bentuk teatrikal makroekonomisme. Penggunaan data-data ekonomi makro untuk selebrasi keberahasilan globalisasi.

Pengukuran inekulitas global dengan menggunakan unit analisis yang lebih kecil yakni pendapatan per-kepala rumah tangga secara global justru menunjukkan disparitas pendapatan. Di sisi lain, pengelompokan data inekualitas dengan menggunakan gini index per region justru menunjukkan fase meningkatnya globalisasi paska tahun 1980 justru meningkatkan koefisien inekulitas di region Asia dan Afrika. Padahal di dua region itulah konsentrasi populasi dunia berada. Artinya, sebagian besar penduduk dunia mengalami kondisi inekualitas yang tinggi.

Berangkat dari konsep inekualitas global inequality  yang diusulkan oleh Branko Milanovic (2007) maka sebenarnya dibutuhkan sebuah pengukuran indeks inekualitas secara global dengan menggunakan unit analisis yang lebih kecil, bukan sekedar makro ekonomi.  Harus diakui, memang upaya pengumpulan data inekualitas global memang suatu hal yang cukup rumit, namun hal tersebut penting sebagai dasar untuk menilai kondisi kesejahteraan global.

Terlepas dari sulitnya mengukur indikator inekualitas yang tepat ada langkah penting yang perlu dilakukan yakni membangun masa depan dunia yang mampu memberikan ruang  hidup yang lebih layak untuk kehidupan, atau malah kita hanya menyaksikan masa depan dunia.

Problem terbesar bukanlah globalisasi sebagai sebuah proses yang bebas nilai, namun kita perlu waspada jika ternyata globalisasi adalah proses yang disengaja dan bias nilai, dan dijadikan sebagai proses global untuk mengglobalkan disparitas dan akumulasi kapital secara global.

Mengutip apa yang pernah dikatakn oleh Mahatma Ghandi bahwa”dunia sebenarnya labih dari cukup untuk memnuhi kebutuhan manusia, namun dunia lebih dari tidak cukup untuk memnuhi keinginan manusia” (Gandhi dalam Francis Alapatt 2005).

Yang lebih penting adalah bukan kita terjebak pada teatrikal makroekonomisme, namun perlu sebuah langkah bijak untuk sadar dan bangun dari kondisi inekualitas global. Tidaklah cukup membesarkan volume “kue ekonomi”, namun yang lebih penting adalah redistribusi “kue ekonomi “yang ada. Dunia lebih dari cukup untuk memberikan sumber daya bagi pemenuhan kebutuhan manusia, tinggal bagaimana kita sebagai warga dunia mendistribuskiannya dengan tepat.

Referensi

Alapatt, Francis.  2005. Mahatma Gandhi: Prinsip Hidup, Pemikiran Politik dan Konsep Ekonomi. Bandung: Nuansa

Bhagwati, Jagdish. 2004. In Defense of Globalization. Oxford: Oxford University Press.

CIA. 2010. “Distribution of family income – Gini index”. The World Factbook 2010.[online] dalam https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/fields/2172. html?countryName=&countryCode=&regionCode=%28. (diakses 16 Juli 2010)

Dollar, David. 2007. “Globalization, Poverty and inequality since 1980”. Dalam David Held & Ayse kaya (eds). Global Inequality. Cambridge: Polity.

Friedman, Thomas L. 2007. The World is Flat, A Brief History of Twenty-First Century. New York: Picador

Harvey, David. 2007. A Brief History of Neoliberalism. Oxford: Oxford University Press.

Koehane, O. Robert & Nye, S. Joseph. 2000. “Globalization : What’s New? Whats’s Not? (And So What?)” Foreign Policy, No. 118 (Spring, 2000). Carnegie Endowment for International Peace.

Krugman, Paul. 2008. “Inequality and Redistribution”. Dalam Narcis Serra & Joseph E. Stiglitz(eds). The Washington Concensus Reconsidered: Towards a New Global Governance. New York: Oxford University Press.

LeGrain, Philippe. 2003. Open World: the Truth about Globalization. London: Abacus Book.

Milanovic, Branko. 2002. “True World Income Distribution, 1988 and 1993: First Calculation Based on Household Surveys Alone”. The Economic Journal, Vol. 112, No. 476 (Jan., 2002). Blackwell Publishing for the Royal Economic Society.

_________________. 2007. “Globalization and Inequality”. Dalam David Held & Ayse kaya (eds). Global Inequality. Cambridge: Polity.

Singh, Kavaljit. 2005. Questioning Globalization. London: Zed Books.

Wallerstein, Imanuel. 2000. “Globalization or the Age of Transition? A long Term View of the Trajectory of the World – System” International Sociology,  June 2000 Vol. 15(2)

Watson, A. Hilbourne. 2002. “Globalization as Capitalism in the Age of Electronics : Issues of Popular Power, Culture, Revolution, and Globalization from Below” Latin American Perspetives. Issue 127. Vol.29 No. 6 November 2002.

Wolf, Martin. 2005. Why Globalization Works. New Haven: Yale Notabene

Zakaria, Fareed. 2008. The Post-American World. New York: W. W. Norton & Company, Inc.

MORE FROM @FISIP UNDIP

0 Komentar

Kirim Komentar